Janji Tinggal Janji

Janji memang harus ditepati. Seperti sebuah dogma. Tak terbantahkan. Ketika ada seseorang berjanji kepada kita dia harus menepatinya apapun yang terjadi dan bagaimanapun caranya. Seperti pepatah: ‘Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak akan dipercaya.’ Kalau tidak menepati janji kita dianggap tidak punya pendirian, tidak jantan (ayam kaleee jantan! *déjavu*), tidak 'gentleman' (kalau laki-laki, kalau wanita mungkin ‘gentlewoman’ *huh*). Tapi pernahkah kita merenung sejenak dan menyadari bahwa janji itu, seberat apapun dia, hanya bisa ditepati sesuai dengan kemampuan dan keadaan? Dan ketika kita meminta seseorang untuk berjanji sadarkah kita bahwa kita sebenarnya sama sekali tidak berhak untuk memaksa seseorang menepati janjinya karena semuanya tergantung pada kemampuan dan keadaan?

Berjanji sebenarnya adalah salah satu tindakan ataupun upaya kita untuk menciptakan kepastian didalam keadaan hidup yang serba tidak pasti.

Kita terkadang lupa bahwa kita berjanji untuk sesuatu hal dimasa depan tanpa pernah bisa tahu dan yakin bahwa janji tersebut bisa kita tepati atau tidak. Insya Allah, kalau kata saudara-saudara saya yang Muslim. Ya, karena kita sebenarnya berjanji dengan menggunakan sudut pandang masa kini untuk mencoba memberikan kepastian di masa depan (yang tentunya kita belum tahu karena belum terjadi) yang sudah pasti keadaannya akan berbeda nantinya jika dibandingkan dengan saat (ini) dimana kita mencetuskan janji kita.

Setiap saat berubah, tidak ada yang sama.

Janji menjemput, janji menemani, janji makan malam, janji jalan-jalan, janji memenuhi klausul kontrak, janji membayar utang, janji memberi piutang, janji kawin bahkan janji sehidup-sematipun (apalagi yang terakhir ini) semuanya hanya janji. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana untuk memenuhinya nanti. Semuanya hanya upaya untuk menyuntikkan semacam obat bius lokal pada tubuh yang kesakitan akibat 'tergores' oleh ketidakpastian agar tidak terlalu terasa sakitnya, perihnya.

Masing-masing, apakah yang berjanji maupun yang dijanjikan, harus mulai untuk sama-sama menyadari dan belajar. Belajar apa? Ya, belajar untuk tidak mudah berjanji kalau tidak realistis atau kalau dirasa kurang mampu memenuhinya. Demikian juga sebaliknya yang dijanjikan juga jangan mudah percaya (saya tekankan ‘jangan mudah’ percaya, bukan ‘jangan’ percaya) pada janji-janji kurang realistis. Jangan terlalu 'ngarep'. Dan, jangan memaksa seseorang untuk berjanji, karena sesungguhnya berjanji itu tidak mudah. Sangatlah tidak mudah. Jangan membebani.

Saya berbicara ini bukan untuk mempengaruhi anda semua untuk bersikap antipati terhadap janji dan seluruh handai taulannya. Orang menjadi mudah dan lantang bilang janji, mudah melanggar perjanjian yang sudah disepakati, meremehkan janji, menyakiti perasaan bahkan merusak hidup orang lain karena sudah terlanjur antipati terhadap janji. Atau menjadi membebani orang lain karena secara langsung maupun tidak telah memaksanya berjanji sampai melewati batas kewajaran padahal jelas-jelas berjanji itu tidak mudah. Kenapa begitu ya?

Jawabannya: karena takut. Ya, takut. T-A-K-U-T.

Karena takut menyebabkan orang kehilangan kepercayaan bahkan terhadap dirinya sendiri. Karena takut menyebabkan orang mudah berjanji dan mudah percaya pada janji. Karena takut orang menjadi memaksa seseorang lain untuk berjanji. Tak sadar bahwa ketika seseorang dipaksa untuk berjanji justru semakin membuka segala kemungkinan untuk janji tersebut tidak ditepati. Karena janji yang diucapkan tadi tidaklah tulus. Didorong, dipaksa, dijebak. Dan ketidaktulusan itupun sekali lagi terjadi karena: Takut. Masalahnya cuma itu dan hanya selalu itu.

Kalau begitu apakah inti pembicaraan ‘ngalor-ngidul’ ini? Musti ngapain dong kita kalau begitu? Yang pasti bukan kayang atau senam ritmik.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Terima kasih semesta untuk perjalanan hari ini.

8 comments:

Anonymous said...

hm.. good point. you make me wonder now. what then, do you plan to say for, your marriage vow?

- elle (sorry did not mean to be anonymous but I'm blogless...)

Unknown said...

Janji itu cuma petunjuk arah. Dia perlu ada, tapi pada akhirnya perjalanan ditentuin sama langkah kita sendiri. Bukan begitu ... ?

Eh, makasih "dinding shoutbox"-nya yg terbuka bebas itu, ya ... tiap minggu kita numpang nempel "selebaran" ...=P

Anonymous said...

Janji pernikahan itu janji utk selalu bersama saat susah dan senang, sampai maut memisahkan. Rasanya, intinya sama dgn kata2 ayah sayang kamu sampai mati...

Bukankah karena didorong oleh "janji" utk menyayangi sampai mati, maka segala daya upaya kita ditujukan utk terus dan terus menyayangi sampai maut memisahkan?

Situasi memang berbeda, antara suami dan istri. Tapi antara orang tua dan anak pun situasi berubah2, lalu knp nggak ada orang tua dan anak yg bercerai?

Aneh juga kalo anda bilang karena takut org jd mudah berjanji dan mudah percaya pada janji.
Bukankah justru karena takut, maka orang jadi nggak berani berjanji. Makanya orang suka bilang "nggak janji lho..."
Bukannya karena takut, maka org jd nggak percaya sama janji... makanya orang suka bertanya "janji kamu bisa aku percaya nggak nih..."

Cuma sekedar pemikiran.
Maya :P

Anonymous said...

:) Just read your blog again... :) just a soft reminder . I did send you message on 28th Dec... hehe as per requested..didalamnya ada janji toh.. :) hee

btw nice post about Keenan....Touching

-b-

Anonymous said...

Janji hanya proposal, belum laporan pertanggungjawaban...!

clairvoyant*ling said...

currently following Dee's blog and i got the chance to read yours too :)

well.. talking bout promises..
memang sulit utk kemudian menjadikan sebuah janji sebagai suatu kepastian dgn harga mati krn tidak pernah ada yg pasti kecuali kelahiran, bertambahnya usia dan kematian. hmm.. walaupun janji hanyalah sebuah ungkapan persetujuan terhadap pengharapan yg tidak pasti.. i think a promise have a positive effect in urging us to somehow find a way for breaking wishes into reality. setidaknya, kita udh mencoba menciptakan kebahagiaan dari pengharapan2 dalam janji yg terpenuhi.

Believe me.. hanya dgn mencoba memenuhi janji yg sederhana sekalipun, kebahagiaan dpt hadir disana. or at least we tried our best to keep our promises and even if in the end, janji itu tinggal janji, usaha kita tidak akan sia2.

Ps. hanya ingin beropini.. seandainya kurang berkenan, mohon maaf yap! :P

Anonymous said...

just gonna drop you a random line. haha, i've been reading your blog these few months. and i saw you passed by somewhere in damansara perdana this afternoon.

*sempet mikir, itu marcell bukan ya?*

at least i know that you are real. haha. keep on writing, man.

Anonymous said...

Terimakasih, untuk tulisan yang begitu dalam maknanya ini.

saya termasuk salah satu orang yang beranggapan bahwa janji semestinya memang harus ditepati,

setiap kali ada yang menjanjikan saya sesuatu, didalam diri saya selalu mengatakan

"Jangan pernah berjanji jika tidak mampu menepati"

"Jangan tidak bisa menepati jika sudah berjanji"

dan, kecewalah yang selalu saya dapat,

mengapa?

karena..


"Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana untuk memenuhi janji itu nanti"

ya jawabannya saya temukan disini.

kita tidak pernah akan tahu apa yang akan terjadi, dan bagaimana proses untuk memenuhi janji yang telah tersemaikan tersebut.

semua kembali kepada kondisi, keadaan, takdir,dan masih banyak faktor lain.

akhirnya menuntun saya kembali berfikir,

layakkah kita mengucapkan suatu janji pasti?

lupakah kita, bahwa semua hal yang kita inginkan tidak semuanya mampu kita dapatkan.

talk is always cheap,
berjanji memang mudah,

dan tiap kali janji tersebut terikrarkan, memang akan selalu ada dua kemungkinan :

- terwujudkan
- tidak terwujudkan

semoga kita menjadi orang-orang yang beruntung, semoga semua makhluk berbahagia!