Saya Batak

Saya orang Batak. Setidaknya terlahir sebagai orang Batak. Muka sayapun terlihat Batak. Marga saya Siahaan. Dan pernah menikah dengan seorang boru dari marga Simangunsong dan mempunyai seorang  anak yang (pastinya) juga Batak. Tetapi saya dilahirkan dan dibesarkan di Bandung, Tanah Parahyangan, oleh sebuah keluarga besar yang sangat ‘Jawa’. Ayah saya, Paian Siahaan, adalah orang Batak asli dan lahir di Pematang Siantar. Ibu saya, Veronica Indrasari, adalah peranakan Surakarta, Ambon, Belanda dan Cina yang lahir di Bandung dan sudah ‘ditahbiskan’ menjadi orang Batak dan memperoleh marga Manurung. Kakek saya, alm. R.M. Soebroto Hardjowahono, adalah orang Surakarta asli yang banyak menghabiskan waktu masa mudanya di negeri Belanda. Ayah beliau (saya menyebutnya ‘eyang resi’), alm. R.M. Soetarto Hardjowahono adalah salah satu pendiri Taman Sriwedari, Surakarta. Nenek saya, alm. Doortje Francine Suzanne Noya, adalah orang Ambon dengan sedikit darah Belanda dan Cina yang besar di Surabaya dan Belanda. Kakek saya pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat (Dispsiad) sekitar tahun 50-an sepulang dari negeri Belanda sehingga mengharuskan beliau menetap di Bandung karena saat itu kantor pusatnya di jalan Sangkuriang, Bandung.

Semenjak kecil saya lebih banyak berinteraksi dengan adat Sunda dan Jawa. Saya bahkan bersekolah di Santo Aloysius, Bandung sejak TK hingga lulus SMU yang mana mayoritas sahabat-sahabat saya adalah keturunan Cina dan semuanya fasih berbahasa Sunda. Akibatnya saya menjadi lebih fasih berbicara bahasa Sunda dan sedikit bahasa Jawa. Saya tidak bisa berbicara dan berbahasa Batak sedikitpun. Dan Papa bukan orang Batak yang
‘strict’ terhadap adat istiadat Batak. Dia tidak pernah memaksa saya ‘menjadi’ orang Batak karena Papa sangat realistis. ‘Darah Batak sudah mengalir dalam darahmu’, begitu katanya. Hasilnya saya selalu menjadi bahan celaan dan permainan saudara-saudara dari pihak Papa karena tidak bisa berbahasa Batak. Mereka menganggap saya Batak palsu, Batak KTP, Batak jadi-jadian. Saya selalu diejek ‘lembek’ seperti orang Jawa, ditertawakan dan dikomentari dengan bahasa Batak dan mereka selalu merasa saya tidak mengerti padahal saya juga tidak bodoh. Saya sempat suatu hari bercerita kepada Papa mengenai ini. Dan mengomentari masalah bahasa beliau berkata: ‘Lebih penting bahasa Inggris kau pelajari daripada bahasa Batak. Persentase untuk kau nanti pakai bahasa Inggris akan jauh lebih banyak kurasa. Sudahlah, tak akan mati kau tak bisa bahasa Batak.’ Saya tersenyum. Benar juga. Untuk menjawab celaan-celaan  dalam bahasa Batak yang ditujukan kepada saya akhirnya saya menjawabnya dengan bahasa Sunda. Nyambung atau nggak, peduli setan. Yang penting 'nyela' balik. Akhirnya celaan-celaan tersebut berhenti sendiri karena sama-sama bingung, sama-sama frustrasi.

Kembali lagi, walapun Papa tidak secara spesifik mengajarkan adat istiadat dan berbicara bahasa Batak, beliau mengajarkan saya untuk menjadi orang Batak yang baik dan terhormat. Dan hal yang selalu beliau ajarkan kepada saya adalah bahwa orang Batak itu berkarakter kuat, berani mengambil sikap tegas dan bertanggung jawab, apa adanya dan sangat menghormati orang tuanya. Saya selalu ingat itu.

Saya bangga menjadi orang Batak. Karena saya telah dibesarkan oleh orang Batak yang bertanggung jawab. Papa, walaupun beliau sudah berpisah dengan Mama sepuluh tahun lebih, adalah figur lelaki Batak yang selalu menjadi panutan saya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dia adalah lelaki yang sangat cerdas, kritis, pekerja keras, bertanggung jawab dan sangat peka terhadap lingkungannya. Dia sangat keras mendidik saya karena diapun dididik sangat keras (bahkan terlalu keras) oleh ayahnya, '
ompung doli' Leman Siahaan, terutama terhadap apapun yang ada hubungannya dengan rasa bersyukur. Dia mengajarkan saya untuk selalu bersyukur atas apapun yang kita miliki karena dalam hidup masih banyak orang yang tidak seberuntung saya. Tidak boleh menyia-nyiakan jerih payah orang lain. Tidak boleh menyisakan dan membuang makanan. Tidak boleh menghina dan melecehkan orang kecil. Jangan lupa untuk selalu membantu siapapun yang membutuhkan bantuan. Seburuk apapun orang tuamu tetaplah hormati. Mengkritik orang tua bukan hal yang tabu namun haruslah dengan cara yang sopan dan terpelajar karena bagaimanapun tetaplah orang tua. Sebagai penutup beliau berkata: ‘Aku keras sama kau. Kau pasti tidak terima aku keras sama kau. Tapi suatu saat nanti kau akan berterima kasih sama aku.’ Ya, beliau benar. Akurat.

Papa bukanlah orang Batak kebanyakan. Beliau berbeda, setidaknya menurut pengalaman saya dan pendapat saya. Sangat realistis.
Bukan orang Batak yang usil yang suka ikut campur masalah orang lain atas nama persaudaraan.
Bukan orang Batak yang merasa dirinya, adatnya, keyakinannya, agamanya adalah yang paling benar sehingga ‘seakan-akan’ memberikan kekuatan bagi dirinya untuk menghakimi, mengkhotbahi dan menzalimi orang lain terlebih saudaranya sendiri.
Bukan orang tua Batak yang dengan mudahnya mengancam anaknya dengan ancaman ‘anak durhaka’ ketika anaknya berpacaran ataupun menikah dengan orang yang bukan Batak ataupun yang berbeda keyakinan.
Bukan orang tua Batak yang suka menjodoh-jodohkan anaknya dengan sesama orang Batak.
Bukan orang tua Batak yang menjebak anaknya dalam perasaan bersalah hanya karena anaknya ternyata punya pendapat sendiri.
Bukan orang tua Batak yang suka membanding-bandingkan anaknya dengan anak keluarga Batak lainnya yang dianggap ‘lebih sukses’.
Bukan orang tua Batak yang dengan mudah menyebut ‘saudara’ ketika meminta bantuan untuk kepentingan anaknya sehingga seringkali membuat anaknya malu.
Bukan orang tua Batak yang sedikit-sedikit mengutip ayat kitab suci dan berkhotbah ketika dirinya merasa benar dan kebenarannya tidak dipatuhi.

Buat saya tidak ada kata durhaka. Malin Kundang hanyalah legenda. Dalam hemat saya orang tua tetap orang tua. Orang tua hanya manusia biasa yang juga harus diingatkan, ditegur. Namun cara mengingatkan dan menegurnya MUTLAK harus dengan sopan. Karena mereka, bagaimanapun juga adalah orang tua kita, darah daging kita, yang membesarkan kita. Itu saja.

Saya orang Batak bukan berarti dimana-mana saya harus ‘Batak’ ataupun kelihatan ‘Batak’. Saya menghormati tanah kelahiran saya, Tanah Parahyangan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya lahir disana, besar, makan dan minum, bersekolah, menikah dan mempunyai anak disana. Saya sudah menjadi bagian dari masyarakatnya. Saya tidak ingin ‘menguasai’ hanya karena asumsi bahwa orang Batak harus selalu eksis dimanapun, kapanpun, dengan siapapun dan jadinya malah menginjak-nginjak adat istiadat orang lain, menganggap orang lain ‘lembek’, menganggap orang lain 'culas' dan sebagainya.
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Saya menunjukkan bahwa saya orang Batak bukan hanya dengan mencantumkan marga. Bukan hanya dengan menghafal siapa saja anggota keluarga dan kerabat saya dan bagaimana memanggil mereka. Bukan hanya dengan mengingat ketujuh klan Siahaan dan generasi keberapa saya saat ini. Saya menunjukkan itu dengan sikap dan karakter sebagai orang Batak seperti yang Papa sudah ajarkan. Orang Batak juga manusia. HANYA manusia. Dan karakter manusia tercermin dari perbuatannya bukan dari siapa dan darimana dia  berasal. Buat saya itu cukup. Lebih dari cukup.

Sekali lagi saya bangga sebagai orang Batak. Terserah orang mau bilang apa.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Terima kasih semesta untuk perjalanan hari ini.

Sabbe Sankhara Anicca saya ucapkan dari hati yang terdalam kepada sahabat saya, abang saya,  Robin 'NOXA' Hutagaol, yang telah meninggal dunia karena kecelakaan lalu-lintas dan sempat mengalami koma selama beberapa hari. Pertemuan yang singkat namun begitu berarti, bang. Terima kasih atas kesempatan mengenali abang lebih dekat dan memaknai persahabatan diantara kita walaupun singkat. Have a peaceful journey, my brother!

38 comments:

unee said...

" Papa bukanlah orang Batak kebanyakan. Beliau berbeda, setidaknya menurut pengalaman saya dan pendapat saya. Sangat realistis..... -- Bukan orang tua Batak yang sedikit-sedikit mengutip ayat kitab suci dan berkhotbah ketika dirinya merasa benar dan kebenarannya tidak dipatuhi ".

You're one lucky guy ! Bukannya aku gak mensyukuri orangtua ku,but -sometimes, I wish they could be a little more like your Dad.
I guess it's up to me to change the 'cycle' when I have my own kids later on,eh ?

jadechristapurnoto said...

SETUJU....100% setuju bgt dg setiap detail komentar kamu mengenai batak.

Salut juga kamu sudah dengan blak-blakan beropini tentang "Batak". dengan mengupload opini ini berarti sudah siap dengan berbagai kritik yg akan meluncur dari batak2 tulen yg akan habis-habisan mengkritisi komentarmu setelah visit your blog.

hmm...batak...
terlalu egois menurutku...terlalu angkuh dan terlalu mendewakan sebuah budaya yang menurutku gak penting bgt...budaya hanya cukup dihormati tapi tidak penting banget untuk didewakan, diagung-agungkan.


Diumurku yg hampir 29th...so, its means aku dah menjadi orang batak tulen selama 28th, aku masih bermimpi suatu saat ada 1,2,3,4,5 orang seperti your dad yang mau menghargai setiap pendapat even anaknya sekalipun dan menghargai kekurangan2 anak2nya tanpa harus iri dengan kelebihan-kelebihan orang lain.


dan 1 lagi, gw mimpi suatu saat orang2 batak mau menerima suku lain (jawa, sunda, dll) menjadi saudara tanpa harus menjelek-jelekan. (hihihi...agak2 persoalan pribadi setelah menjalani 3th pacaran dg suku jawa....terlalu banyak penolakan! Gada 1 pun yg memberikan solusi & dukungan hanya penolakan)


Sempet bete sich jadi orang Batak, karna ngerasa kok banyak nyebelinnya daripada bangganya.


but eniwey... begitulah hidup... semakin berwarna semakin indah dan semakin dewasa dalam hidup.


Ega
inbox.ega@gmail.com
blitz.organizer@gmail.com
blitzsorganizer.multiply.com

Andri Journal said...

Coba tak tes sik:
"Piye kabarmu le..Apik2 wae to?Ojo lali mangane sing teratur..Sedino mangane yen iso ping telu.Ojo kakean mangan daging,ndak kolesterolmu tambah dhuwur."

Mudeng gak?Kalo gak mudeng berarti km jg Jawa jadi2an. ;D

Marcell Siahaan said...

Tenang, Mas Andri. Saya vegetarian ;) Suwun sanget! Hehehehehehe!

MakMonas said...

halo marcell, setelah lama menjadi silent reader baru kali ini aku berani ksh comment..

aku org malaysia yang tinggal di jakarta dan suami aku indonesia dan dia adalah betawi..
bertahun aku tinggal di sini tapi aku masih kurang mengerti kenapa aku sering mendengar keluhan orang-orang sekeliling (orang Indonesia) kalau orang-orang Batak selalu dianggap kasar dan hmmmm...u know what i mean..

padahal pernah waktu lagi rame-rame di mobil, ada mobil yg hampir nabrak mobil kita, dan antara keluhan yg aku dengar "tuh pasti orang batak"

sampai sekarang aku ga berani tanya apa-apa ke keluarga suamiku,

but after i read all these, now i know..

menurut aku menjadi batak masih mendingan..kalau aku sering diledekin "Malingsia"

apapun semua orang sama aja..:) ya kan?

keep good posting ;)

Anonymous said...

Kakek saya ‘diimpor’ langsung dari Cina. Beliau melarikan diri dari negerinya ketika Mao Tze Dong berjaya, memilih Indonesia sebagai tempat tujuan, bertemu dengan nenek saya yang asli Pekalongan, menikah, dan tinggal di Jakarta. Beliau membesarkan anak-anaknya dengan didikan keras khas orang Cina jaman dulu.

Tradisi dan adat istiadat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kami, dan setiap gerakan dipantau berdasarkan kedua hal tersebut. Kendati demikian, saya tidak bisa berbahasa Mandarin, karena kedua orang tua saya tidak pernah mengajarkan bahasa tersebut. Bagi mereka, bahasa yang harus digunakan dan dikuasai adalah bahasa Indonesia, karena di sinilah kami tinggal, makan, dan bernafas. Saya pun tumbuh menjadi anak yang terasing dari pergaulan di sekolah lantaran tidak ada bahasa yang saya kuasai selain bahasa bumi pertiwi (bahkan bahasa Cina daerah pun tidak), sementara teman-teman saya yang lain sibuk cas-cis-cus. Di kompleks perumahan kami, saya terasing dari pergaulan lantaran saya satu-satunya anak perempuan berkulit terang dan bermata sipit. Untungnya, hal ini hanya berlangsung ketika di Sekolah Dasar *males aja gitu, kuper seumur hidup*.

Orang tua saya dididik dengan keras, dan mereka menerapkan didikan yang sama kepada saya. Namun, mereka tidak pernah melarang saya bermain dengan anak-anak lain yang berkulit lebih gelap dan bermata lebih bundar. Mereka tidak pernah menatap teman-teman saya dengan aneh. Mereka tidak merasa terganggu ketika saya membawa teman yang berasal dari Ambon menginap di rumah. Mereka tidak protes ketika saya memutuskan untuk berpindah keyakinan dan memeluk agama yang berbeda dengan yang dianut keluarga kami turun-temurun. Mereka tidak mengharuskan saya memilih bidang pekerjaan tertentu. Mereka tidak memaksa saya melanjutkan pendidikan ke jenjang tertentu, hanya karena konsep ideal mayoritas yang ‘seharusnya dimiliki setiap orang Cina’. Dan Ayah saya selalu berkata, “Papa percaya kamu. Kamu tahu yang terbaik untuk diri kamu.”

Saya tumbuh besar di waktu dan lingkungan yang tidak dapat menerima perbedaan suku sebaik sekarang. Saya tumbuh dengan meyakini bahwa sampai kapan pun jurang itu akan tetap ada, dan saya akan tetap menjadi orang asing di negeri sendiri, meski saya lahir dan hidup di tanah ini. Namun, kebebasan yang diberikan orang tua saya membuat saya berani ‘menghadapi’ dunia.

Kini, saya sering menoleh ke belakang dan tertawa sendiri. Mengenang gadis Cina kecil yang tidak berani keluar rumah gara-gara diolok-olok anak kampung sekitar. Mengenang anak-anak bermata sipit yang bertengkar dengan anak-anak bermata bundar dari kompleks seberang dan saling adu mulut tidak karuan. Mengenang sepeda yang nyaris nyungsep ke selokan gara-gara rodanya dilempari batu. Mengenang rasa sebal yang muncul setiap diteriaki ‘Amoy’ dan ‘Cina’. Mengenang rasa takut, gundah, sedih, khawatir ketika kerusuhan Mei 1998 terjadi. Semua atas nama perbedaan. Lucunya, sekarang sahabat-sahabat terbaik saya adalah mereka yang bermata lebih bundar dan berkulit lebih gelap. Orang Batak. Orang Ambon. Orang Jawa. Dan saya sangat bangga dengan mereka. Persahabatan kami barangkali bisa jadi ilustrasi sempurna iklan layanan masyarakat.

Saya orang Cina. Dan sampai kapan pun saya akan selalu bersyukur terlahir sebagai orang Cina. Namun, di atas segalanya, saya bersyukur memiliki orang tua yang tidak pernah memaksa saya untuk menjadi ‘seperti orang Cina pada umumnya’. Mereka yang dengan besar hati membebaskan saya untuk hidup dalam pilihan-pilihan saya. Mereka yang mempercayai saya untuk menempuh jalan kebahagiaan saya sendiri. Karena mereka, saya ada.

Ani Berta said...

hai Marcel ternyata dirimu sama denganku aku adalah seorang yg terlahir dari ayah yg batak dan ibu sunda, akupun lahir dan besar ditanah parahyangan. :)
Sukses ya buat kamu
kamu begitu bijak menyikapi hal ini

Anonymous said...

Sama seperti Jenny, kakek dari ayah saya juga asli import dari RRT dan saya juga mengalami hal2 yang sama seperti Jenny alami(well most of us do).

Jadi seharusnya semua bisa menyadari bahwa kita tidak bisa memilih ingin dilahirkan dimana, menjadi apa, keturunan siapa dan menjadi bangsa apa. Bila semua sudah sadar akan hal itu niscaya hal2 yang namanya persepsi atau diskriminasi akan hilang dengan sendirinya(contohnya obama sudah bisa jadi presiden hehehe)

Kalau soal orang tua, well mungkin saya cukup beruntung karena ayah dan ibu saya juga menyerahkan sepenuhnya pilihan jalan hidup saya kepada diri saya sendiri karena mereka tahu kalau yang bisa membuat kita bahagia adalah diri kita sendiri, mereka hanya memberikan warning atau guidance supaya kita gak salah langkah dan selanjutnya kita sendiri yang memilih pilihan mana yang akan kita ambil. Hal itu pun akan saya terapkan kepada anak saya.

Oh ya (off topik), bro loe tau Imee Ooi gak?? kalo belum tau coba loe cek deh, kali-kali aja loe ada link en minat buat kerja sama(ngarep mode on)

ps:
nich gue kasi link buat anak loe(mudah2an dia suka soalnya cari yg beginian susah nich kalo di indonesia or kali2 loe mau produce sendiri?? hehe)
http://buddhanet.net/buddhist_songs/budsongs.htm

Anonymous said...

halo bang marcelll
baru skrg ngunjungin blog abang :)
pas baca postingan soal batak2 gitu
rada tertarik membacanya coz gua orang batak tulen

senyum sendiri, sambil sedikit mengangguk angguk tanda setuju dengan beberapa statement yang abang tuliskan soal batak.

jiahhh,,kita ga milih untuk lahir dari orangtua suku apa dan ras apa. kadang rasa tidak puas itu muncul, sedikit penyesalan kadang ada juga. terlebih kalo lingkungan sekitar ngomong jelek ttg suku kita.

di bandung tuh bang, temen2 bilang kalo supir 05 sahabat gua semua (hanya karena angkot itu identik dikuasai orang batak, pdhl sekarang wong jowo juga ada :))
dulu waktu kecil, diejek2 batak batak gitu bikin kesel, sama kayak pengalaman jenny jusuf diejek2 cina, pengennya ngelempar batu ama yang ngejek, tapi apa ada mereka bergerombol,,ngeri kaliii bang..hehehe

tapi udah dewasa gini, logika dan penerimaan akan keberadaan diri sudah lebih dapat dimaintance. Ada yang ngomong2 jelek soal batak, hanya bisa ngakak dan nambah2in ngejelekin biar tambah seru :)

tapi deep inside, gua bangga jadi batak, dengan semua plus plus karakter batak yang ada. Negatifnya ga usah terlalu dipikir, tinggal dari kitanya kita mau jadi batak macam apa, batak reformasi lebih baik kali yaaa...

semua suku ada plus minusnya, tapi pastinya kita lebih tau plus minus suku kita, dan kadang keminusan suku kita ya kita yang tau, tinggal di reformasi aja seperti yang gua bilang itu

Jauh di lubuk hati, suku ga jadi hal penting dalam hidup, dalam hidup sosial jangan menonjolkan kesukuan, biar hidup lebih damai, dan kita juga ga di kotak kotakin dalam pergaulan, tambah banyak temen dari berbagai suku, senang rasanya
life is a gift.suku apapun kamu, is a gift

Gbu,,,

Precious said...

i know how you feel. apa lagi yang namanya batak + ambon. and i grew up more ambon then batak. thank God for my dad. as much as he wants me and bro & sis to have the good characters and qualities of the Batakese, papi sangat terbuka dalam memberi kebebasan bersuara dan berfikir kepada anak anak.

be strong. we are an individual first.

tiur simatupang.

Anonymous said...

bukan asal yang menunjukkan tindakan. tak penting dari suku mana kau berasal, asal sopan santun dan budaya berasal dari tindakan dan hati kita.

Anonymous said...

hmmm...
gw juga cewe batak asli... orang tua asli batak n ternyata berjodoh dengan suku batak (gak khusus nyari batak lohh..).. gw lahir di bandung dan sudah 16 tahun di Jakarta..

cukup dgn latar belakang gw..
yang pasti... walaupun keluarga gw hampir semuanya batak.. Gw punya pemahaman yang sama dengan marcell.. n itu dah gw rasakan dari kelas 3SD!!

Gw setuju bahwa semua manusia termasuk suku punya kelebihan masing... kenapa gw bilang kelebihan... karena Tuhan menganugerahkan hal yang baik dan adil pada masing2 manusia...

Suku batak memang secara umum n sesuai yang gw lihat agak terlalu merasa lebih dari yang lain... mungkin saatnya di generasi kita utk merubah itu.. dengan tidak terjebak dalam kebanggaan yang semu dan mau terbuka dengan orang lain... dan mulai menghargai PERBEDAAN dan kelebihan yang lain!!

Gw senang membaca beberapa komentar yang mempunyai pikiran yang sama dgn gw.. it means gw BUKAN satu2nya batak tidak rasis dan berpikir untuk menjadi satu dengan suku lain...
gw senang... mudah2an semakin banyak batak2 lainnya yg berpikir seperti ini.. sehingga tidak ada yang merasa "tidak bangga" sebagai orang batak karena rasis dan kekakuannya hehehe...

btw, gw juga siahaan loo... n gw bangga sebagai batak.. karena itu identitas dan gw diwariskan sifat2 genetik positif yang ada di dalamnya..

tapi... jangan harap gw hanya puas dengan merek batak/siahaan... karena gw adalah gw tampa embel2 batak atau marga, yang tumbuh dan berkembang sesuai pengalaman hidup.. nilai.. prinsip yang gw pelajari dan dipilih... dan hidup gw bukan hanya berdasarkan merek di belakang nama ataupun marga dari suami...

ps: lingkungan gw masih banyak berpikir opposite dari gw.. Wish me luck yaa.. :)) *finger cross*

Shanty Mahanani said...

Orang Batak katanya kerongkongannya panjang, makanya pada pinter nyanyi...! Bener nggak ya?

salamatahari said...

Orang Batak itu surprising dan suka meledak-ledak.

Pernah satu kali Ompung Dea marah-marah; gayanya serem, tapi kata-katanya, "Saya nggak suka liat air mata ! Saya lebih suka liat air jeruk !" ~_~'

Pemirsa jadi bingung mo takut apa ketawa ...

Anonymous said...

hii marcell...
aku orang batak asli,maksudnya berdarah batak asli tidak ada campuran apapun..tapi entah mengapa aku dilahirkan bermuka seperti cina.kadang orang gak percaya kalo aku orang batak.apalagi aku dilahirkan di kota bandung dan dibesarkan di bandung.maka karakter aku sudah terkontaminasi dengan orang sunda,yang halus dan lembut..tapi jangan pancing kemarahanku karena sifat batakku akan keluar..;).sebagai seorang yang batak asli,sebenarnya saya malu aku janggal berkata bahasa batak.lebih lancar aku berbicara bahasa sunda.Kadang aku bingung pada pada identitas diriku yang tidak sepenuhnya menjadi batak..
Kemudian aku menikah dengan orang yang campuran batak dan menado tetapi lahir di tarutung.Jangan di tanya, bahasa bataknya..sangat lancar dan sangat batak..sekarang aku mengambil kesimpulan bahwa tempat di mana dibesarkan disitulah karakter orang itu dibentuk.tak peduli dia berdarah batak,china, menado dsb..
Btw, aku pun siahaan,lho...salam hangat ya ito..aku bangga ito tetap bangga dengan batak..

Anonymous said...

Shalom Bang Marcell...

Gue, asli Batak dari Marga (Klan) Sitompul dari generasi 16. Gue, Batak, tapi ngajar bahasa IBRANI (HEBREW), padahal gue gak bisa berbahasa BATAK tapi ngerti sedikit jika orang Batak berbicara satu sama lin.

Memang Bangso Batak itu merasa lebih dari suku - suku yang lainnya. Tapi jangan lupa, sekarang banyak generasi muda BATAK sudah lupa akan akarnya, atau MALU JADI ORANG BATAK.
Alasannya karena penolakan orang -orang dari sekitar (HALAK IYON) pribumi lain. Orang Batak selalu identik KASAR, JELEK, BATAK LAGI...
Padahal orang sekitarnya itu (HALAK IYON) jauh lebih brengsek dan pemalas, malah IRI kalau lihat ada orang Batak yang sukses...
Sepertinya, dinegri ini, masih ada aja sifat rasialis atau rasisme.

Tapi perlu diingat juga, bahwa kita ini Bangso Batak. Orang yang malu akan akarnya selamanya tidak akan punya identitas. Kemana pun dia pergi, dia selalu akan ditanya asal usulnya. Meskipun hanya sepele tentang asal usul.

Banyak sifat positif dari Bangso Batak, yakni TEGAS, BERANI, TIDAK PLIN - PLAN, TIDAK PERNAH BENGKOK, kalau ditanya, jawabnya iya atau tidak, bukannya mencla - mencle, Berani bertang Jawab, Selalu berpetualang - merantau, tidak peduli bahaya apa pun akan dihadapi, RAJIN, BERHIkMAT - BIJAKSANA, PINTAR (SMART), TIDAK CENGENG, TIDAK GAMPANG SAKIT HATI, Memiliki sifat kepemimpinan, Taat kepada TUHAN, tunduk kepada orang tua, selalu menurut kepada orang tua (ingat Dalihan Natolu juga) dan lainnya. Itulah sebabnya TUHAN mengaruniakan BERKATnya kepada Bangsa Batak, seperti halnya Bangsa Israel. Sifat/Karakter Bangsa Israel sama dengan Bangsa Batak, keras.

Tapi sekali lagi, statement ini bukan untuk menunjukkan superioritas Bangso Batak, tetapi bahwa, kita hidup berdampingan juga selalu disertai keterbukaan, saling menghormati, menjaga keharmonisan satu sama lain dan tidak ada diskriminasi. Maka itu, Gue juga setuju kalau kita tidak boleh harus hidup berdampingan dengan bangsa lainnya.

Bang Marcell bilang:
Saya bangga menjadi orang Batak.

Mau gak mau, gue juga harus bangga menjadi orang Batak.

Shalom

GOD BLESS YOU, BATAK PEOPLE

HORAS

Dee Lestari said...

Andaikan kesukubangsaan bisa dipilih dan bukan berdasarkan pertalian darah semata, saya ingin sebulan sekali ganti suku bangsa, agar bisa mengerti apa yang terjadi dalam interior mental sebuah suku bangsa tertentu. Saat mereka berbangga, saat mereka menghakimi suku lain, saat mereka saling mendukung, saat mereka saling membunuh, saat mereka saling memuji, saat mereka saling mencela. Dan barangkali sesudahnya, saya bisa dengan akurat dan empiris mengatakan bahwa: apa pun suku banga kita, penderitaan manusia pada dasarnya sama.

I guess all identities eventually are double-edge knives. It can a blessing, it can be a curse. It can be draining, it can be nurturing.
But at the end, we have to detach from it all...

Nice writing. Majeng pisan euy Suratjeu :)

~ D ~

PS. Ompung Dea juara!! Wakakakak... so funny!!

ANGGUN PUSPITA said...

saya jawa mas, hehehe..?!
salam kenal yah?

Anonymous said...

Shalom bang Marcell,

kutipan saya (Anonymus) yang terakhir itu salah nulis. disitu dikatakan,: "Maka itu, Gue juga setuju kalau kita tidak boleh harus hidup berdampingan dengan bangsa lainnya.

Seharusnya:
Maka itu, Gue juga setuju kalau kita harus hidup berdampingan dengan bangsa lainnya. bukan tidak boleh. (sebaiknya kata tidakl boleh itu perlu diedit bang Marcell atau dihapus, seperti tadi yang gue maksud. Supaya tidak jadi salah kaprah).

Ini hanya sekedar klarifikasi saja.

Terima kasih bang Marcell, sudah boleh mampir ke bolg abang....

Shalom, Horas

Anonymous said...

very touching & meaningful.....reveal your wisdom mind...

neng yona said...

hey..saya juga juga pernah menulis tetang klan batak di blog saya. you should check it :yonachubbys.blogspot.com, postingan tahun 2006 yang judulnya batak! dan sebagai sesama batak, i fully agree with you. sampai sekarang saya masih kesulitan dalam mencoba membuat mama saya paham bahwa suku lain adatnya juga tidak kalah unggul jika kita mau lihat dari sudut pandang yang berbeda.it's not that i'm not proud, tapi..kita hidup di Indonesia yang multi etnis, we are the best example this world could see of tolerance..yang saya bingung, ompung boru dan doli saya dari pihak mama saja bisa toleran, kok mama saya ngga ya??
jadi ingat ompung teman saya yang bermukim di surabaya, bisa mencampuradukkan bahasa jawa dan batak. dia bilang, "neng kene..neng kono..marsamburetan!" ahahaha..

Nafry Marmata said...

Hebat....

Semoga mendapat Pasangan baru. . .

Maaf kalau saya nilai anda sedikit, "emosional" dalam pendapat anda.

Ha ha ha... Tapi itulah jalan anda, dan setiap manusia memiliki Jalan yg berbeda. Seperti anda mengaharapkan orang menghormati anda apa adanya, maka layaklah anda menghormati orang itu apa adanya juga, contohnya "Orang yg merasa Pintar dan mengkotbahi anda, orang yg merasa pintar dengan budaya dan menganggap mereka memiliki budaya terbaik"

Itulah Manusia, dan setiap manusia memiliki Jalannya masing2.

Mari Hormati siapapun mereka. . .

Dan saya salah satu yg sok Pintar itu... He he he, keep spirit lae..

Horas

Anonymous said...

Buat saya tidak ada kata durhaka. Malin Kundang hanyalah legenda. Dalam hemat saya orang tua tetap orang tua. Orang tua hanya manusia biasa yang juga harus diingatkan, ditegur. Namun cara mengingatkan dan menegurnya MUTLAK harus dengan sopan. Karena mereka, bagaimanapun juga adalah orang tua kita, darah daging kita, yang membesarkan kita. Itu saja.



Love it Marcel. I can't agree more. Andai semua orang tua bisa punya mindset kaya begini, tentu semua anak bisa bebas berpikir dan bisa saling mendidik (orang tua-anak saling mendidik dan bisa sharing pemikiran yang benar). Tapi pada kenyataannya nggak semua orang tua bisa menerima kenyataan kalau mereka juga manusia yang bisa juga salah, nggak semua orang tua bisa menerima kalau anak mereka kadang bisa benar (setidaknya lebih benar dari mereka). My parents, unfortunately, are the latest type ones. Mereka nggak menerima protes, nggak menerima kritik. Suara mereka adalah titah. Sabda buat saya dan adik saya. No comments allowed. Do it or be killed (secara idiomatic tentunya). They are never wrong. And when they are wrong, then let the mistake be the rightness. And let the rightness be the mistake.

How could I possibly face this fact? Seems not fair for me.

Kok saya jadi curhat XD Maaf ya Cell =]

Last words, once again, can’t agree more with you =]

Anonymous said...

horas marcell,

boleh comment ya?

thanks for the wonderful insight mengenai makna jadi orang batak.

saya bisa merasakan yang marcell rasakan. dibesarkan di keluarga batak yang multikultural.

kalo boleh mendongeng sedikit, opung buyut saya guru zending di tanah batak, dan dari rumah "pusaka" kami di sana, tinggal jalan kaki ke makam nommensen. jadi, so pasti batak 'kali lah :)

opung saya, doli/boru batak tulen, on the other hand, sudah berkelana sejak muda. lulus pendidikan guru, ia merantau ke tanah jawa sekitar tahun 40-an. otomatis ayah saya dan oom2 saya fasih bahasa batak, tapi lebih fasih bahasa jawa :) lalu opung bersekolah lagi ke amerika, dan menjadi salah satu intelektual batak pertama di indonesia. ia mendedikasikan dirinya di bidang pendidikan (ikut mendirikan beberapa sekolah di indonesia, termasuk UKI di jakarta)

anak2 opung, ayah saya kakak beradik, juga menghabiskan 1/4 hidupnya di tanah rantau di eropa untuk bersekolah, dan sampai sekarang, rata-rata lebih sering berbahasa jawa dan jerman daripada bahasa batak.

ibu saya sendiri non batak, dan menikah dengan ayah saya pada tahun 70-an tanpa upacara adat, dengan restu penuh dari opung saya yang menganggap adat batak itu adalah hassle, riweuh dan costly. sesuatu yang sangat melawan arus pada waktu itu. begitu juga istri/suami dari siblingsnya ayah saya, rata-rata non batak.

dan budaya itu dibawa sampai saya besar, tidak ada satu pun adat batak dalam keluarga kami (ayah kakak beradik), bahasa batak otomatis blank, sampai-sampai jujur saya ngga tau artinya "ito" kalau tidak bertemu dengan laki-laki yang menjadi suami saya sekarang.

jadi, saya adalah batak ktp.. hehehe.

tapi yang seru adalah, ngga tau kenapa, saya dan sepupu sepupu saya sekarang semua "kembali ke asal", alias kepincut sama orang batak tulen. dan yang paling bahagia tentu saja opung boru saya yang sekarang berumur 93 tahun, karena deep inside, masih bangga menjadi orang batak dan berharap cucu-cucunya tidak melupakan adat.

sebelum kami menikah, mertua sudah di brief oleh suami saya, waktu itu pacar saya, bahwa sebaiknya menganggap ia (suami saya) menikah dengan orang sunda, atau jawa, atau ambon. Dia bilang begitu supaya mertua ngga kaget karena saya nol besar untuk adat batak, padahal mertua saya ketua adat marganya di kotanya :)kontras ya.. hehe

yah itu lah dongeng saya.. yang sempet jauh melenceng eh tapi kembali ke asal :)

yang saya pelajari dari pernikahan dan adat batak adalah it's not that bad kok. justru menarik melihat kekeluargaan yang sangat erat dimana setiap orang mempunyai tempat di waktunya masing masing. dan ada aturan. itu yang sekarang sebenarnya kita butuhkan di kehidupan sehari-hari :)

jadi selama adat itu (my personal opinion ya..) dilakukan dengan kasih sayang tanpa bermaksud kaypoh dan superiority complex (seperti yg Marcell tulis di blog), i'd say it's very very interestingly nice and warm..

give adat a try sometime, you might like it :)

Anonymous said...

aku orang keturunan ambon, china, dan belanda, belum pernah merasakan kuatnya adat karena seluruh keluarga saya yg dari ibu hampir semuanya campuran, kebanyakan dari mereka bukan 100% orang ambon, atau orang belanda 100%, etc. aku lahir di jakarta dan condong ke ibu, sedangkan bapakku orang keturunan cina, aku sama sekali gak cocok sama keluarga dari pihak bapak: aku bermata lumayan sipit tapi gak bisa bahasa mandarin, tidak merayakan lunar new year, etc. aku lebih condong ke ibu dan berada di kelompok orang ambon, belanda dan menado. sampe sekarang aku tinggal di belanda dan orang2 sekitarku pun masih orang ambon, menado dan belanda :D hanya satu yg aku tau dipegang teguh sama keluargaku: kepercayaan. Tapi hal ini tidak menjadi hambatanku karena akupun tidak akan mengubah kepercayaanku hanya karena marriage, hanya karena 1 orang yg belum tentu dikehendaki Tuhan untuk nikah denganku, haha. kedua orang tuaku pun tidak memasalahkan dengan orang mana aku akan nikah.

Anonymous said...

allo marcell

aku bangga terlahir sebagai org batak aseli ( a little more than asli ). memang kadang2 batak tuh narsis (kadang2, dan ga semua kok ... ). but anyway, banyak hal positif dari orang batak yang (kalo suku yg lain mau..) sebenenrnya pantas ditiru. sekedar contoh aja ni..sesusah2nya orang batak, tapi kalo utk sekolah anak2nya apa pun dikorbanin. mendarah daging ni wataknya. nyaris semua. banyak kok yg patut dibanggain. tapi bukan berarti suku lain ga bagus lho.. satu warna ga akan bagus kalo ga ada warna2 lain.. tul ga??

Fitri Intan Dini said...

hai.. salam kenal yaa

Kalo gw yang batak asli tuh bokap gw, Opung gw marga siregar trus nenek Harahap.

Gw sendiri ngerasa kalo gw orang Jakarta, karena lahir di Jakarta dan ga mengenal bahasa batak sama sekali.

Dulu juga pernah ngerasa "kenapa gw ga bisa bahasa batak yah?" Berasa 'batak palsu'.. Tapi yah mu gimana emang ga dibiasain juga. Bahkan kalo ke rumah opung juga ga dibiasain [karena kakek nenek gw tinggal juga di palembang, jadi makin ilang ke-batak-an nya]

Tapi saya tetap bangga jadi orang batak, semoga orang batak seIndonesia bisa tetep eksis di bidangnya masing-masing, horas!

Langit Amaravati said...

Oh, sumuhun da tos siga orang sunda Kang Marcell mah. Teu katinggal orang Batak. Kapungkur Bumi di mana, Kang? di Babakan Jeruk sanes? Yay, sama-sama orang Bandung euy. Nggak masalah mo orang mana juga. Yang penting mah hatinya baik. Tapi salut ma orang Batak: kerja keras dan rasa persaudaraannya itu tinggi. Tapi juga; adat istiadat ga bisa diganggu gugat. Sampe banyak orang batak yang ga bisa kawin2, karena biaya pesta adatnya mahal. Fiuh!

P(l)ay said...

hahahha, kirain luka sendirian yg orang batak tapi lahir di daerah parahiangan, sama seperti marcell, luka byk di caci karena gak tahu sama sekali adat batak n gak bisa juga ngomong batak, :)) :))
luka lahir di ciamis, rumah ortu skg di cibiru bandung, luka sendiri skg tinggal di Malang :))
logat bicara pun sangat medok sunda...

Anonymous said...

Buat saya tidak ada kata durhaka. Malin Kundang hanyalah legenda. Dalam hemat saya orang tua tetap orang tua. Orang tua hanya manusia biasa yang juga harus diingatkan, ditegur. Namun cara mengingatkan dan menegurnya MUTLAK harus dengan sopan. Karena mereka, bagaimanapun juga adalah orang tua kita, darah daging kita, yang membesarkan kita. Itu saja.

Marcell, sungguh kata2 ini sangat menyentuh hati saya. well sebenarnya keseluruhan postingan ini juga sangat bagus. kutipan diatas, boleh saya taruh di blog?

Marcell Siahaan said...

Dengan senang hati, ndutyke :)

Terima kasih :)

Anonymous said...

terlepas dari kita adalah orang cina, batak, bule, jawa, sunda, papua, atau apapun itu

yang jelas....

menjadi seorang manusia adalah pilihan

seorang yang bijak berkata:
"bukan karena kelahiran (etnis), kedudukan, golongan, maka seseorang menjadi suci;
tetapi oleh karena perbuatannya sendirilah mereka menjadi suci (dan sepantasnya disebut manusia)...

yang lebih penting dalam hidup ini bukanlah masalah siapa kita, tetapi apa yang kita perbuat saat ini-disini

be happy yaw
*nice post bro....

hansen_zinck@yahoo.co.id

Xdanielzx's Blog said...

Saya juga batak, terlahir dengan nama Saut Daniel Sitompul. Dulu fans Puppen pula (tapi bukan fans Marcell, hehehe).

Opini yang baik. kadang kontemplatif, dan kadang juga menghanyutkan. Menjadi orang batak memang kadang menggairahkan dan kadang juga menggelikan. Seperti contoh teman -yang juga batak, opungnya memiiliki penyakit. Ditanya oleh dokter Jawa, sakit apa opung? "sakit sturuk aku, dok" kata opung teman saya. Dokter Jawa itu bingung, untungnya teman saya langsung mengklarifikasi. "Maksudnya sakit stroke, dok,"

Ha..ha...ha. just joking

de asmara said...

dimana bumi dipijak, distiu langit dijunjung. tepat sekali!!
semua terbungkus dalam kalimat 'sederhana' itu. berhenti mengkotak2an orang, kita semua bersaudara.

Anonymous said...

gw juga orang batak. keluarga gw juga batak bgt. gw pernah bawa cewe gw yg bukan org batak makan ma keluarga gw, dia dicuekin abis2an ama bonyok gw. i think thats just stupid and ignorant. apa bedanya kita dgn org2 nazi? mereka pgn keturunan mereka tetap murni arya. bedanya kita dgn mereka, yah mereka ngebunuhin org2 yg beda. anyway, ini masalah sukuisme ini juga bukan cman org batak doang kok. suku2 lain juga banyak yg berusaha mempertahankan kemurnian darah suku mereka.

itu bego bgt

indonesia tuh cman sebagian kecil dari dunia, dan suku2 itu cman bagian dari indonesia. kita harus ngebuka pikiran kita lebih luas. the world is alot bigger than that. gw tinggal di us dan cewe gw berasal dari sini. orang tua cewe gw ga setuju dia ma gw, gara2 gw ama dia beda ras. nah skarang apa bedanya rasisme ama sukuisme? thought that suku kita lebih dari suku org lain, sehingga kita ga mau menikah dgn org suku lain, ato menjelek2kan suku lain. that sounds like racism to me.

jangan mau kaya katak dalam tempurung
be more open minded

c. sibarani

sami said...

mau berbagi pendapat aja nih bang marcel. saya juga orang batak dan (syukurnya) batak tulen. mama papa semua dari tanah batak asli. dari kecil juga saya udah ditanamkan nilai-nilai adat batak.

Tapi menurut saya, ga cuma batak kok "yg merasa dirinya, adatnya, keyakinannya, agamanya adalah yang paling benar sehingga ‘seakan-akan’ memberikan kekuatan bagi dirinya untuk menghakimi, mengkhotbahi dan menzalimi orang lain terlebih saudaranya sendiri."
suku-suku lain juga seperti itu, tapi dalam porsi dan kemasan yg berbeda. itulah mungkin yg membuat etnis batak seolah-olah angkuh, sombong, dsb..

tapi saya tertarik sama tulisan nya bang marcel "Bukan orang tua Batak yang dengan mudahnya mengancam anaknya dengan ancaman ‘anak durhaka’ ketika anaknya berpacaran ataupun menikah dengan orang yang bukan Batak ataupun yang berbeda keyakinan."

wahh.. enak bgt, andai aja orang tuaku bisa kayak gitu, heheh

makasih bang..salam damai..

Yessi Purba said...

horas bang marcell!
aku mengagumimu :)

Simamora, Ferry said...

Well, nice posting bro :)

Namun ada baiknya kita melihat sisi baik dan buruk dari sesuatu. Mungkin bro Marcell melihat dari sisi negatif atas pengalaman buruknya bukan? Bukankah setiap RAS ada baik buruknya? Satu yang pasti buang "buruk"-nya, jagalah "baik"-nya. T

Apakah benar adanya statement berikut:

Saya tidak ingin ‘menguasai’ hanya karena asumsi bahwa orang Batak harus selalu eksis dimanapun, kapanpun, dengan siapapun dan jadinya malah menginjak-nginjak adat istiadat orang lain, menganggap orang lain ‘lembek’, menganggap orang lain 'culas' dan sebagainya.

Semua yang bro Marcell dikatakan disana hanya pengertian yang salah. Tidak ada yang mengatakan orang batak "menguasai". Yang ada itu adalah "Sai Marbisuk Ma hamu Songon Ulok, jala Sai Marroha ma hamu songon Darapati". Saya tidak berniat untuk menasehati bro Marcell sekali lagi di sini ya.
Orang batak keras karena kebanyakan mereka hidup merantau. Keras di sini pun tergantung definisi perorangan. Dalam diri saya mengatakan, jangan pernah kita pulang tanpa membawa apa2, mengartikan bahwa kita orang batak tetap menghargai saudara di sekitar kita dan tidak pernah mengeluh akan kenyataan hidup. Be a real man! Man doesn't cry! Itu definisi saya.
Jadi jujur saya tidak mau melihat buruk dari suku saya sendiri. Adalah kewajaran setiap suku punya baik dan buruknya. Suku jawa, cina, belanda, ambon juga punya buruknya juga koq bro Marcell.

Satu yang saya banggakan di hati, orang batak selalu meneguhkan pendiriannya bahwa lebih baik sakit di negeri orang daripada sakit di negeri sendiri, itu sebabnya orang batak terkenal dengan bangsa perantau. Dengan budaya perantau ini, persaudaraan kita diteguhkan.

NPole