Mohon Maaf

Pagi ini, saya menerima sebuah e-mail dari seorang ibu yang merasa keberatan dengan pernyataan saya di sebuah advertorial pengguna BlackBerry yang disponsori sebuah provider telekomunikasi. Dia keberatan karena saya menggunakan kata ‘autis’ didalam pernyataan saya, yang menurutnya akan menimbulkan konotasi 'kurang positif' terhadap kondisi autis dan akan menyinggung perasaan para penyandangnya. Ibu ini adalah ibu dari seorang putri penyandang autis berumur 3 tahun.

Terima kasih. Saya sadar betul apa yang saya buat dan nyatakan didalam advertorial itu. Saya tidak akan berkelit. Saya telah keliru dan saya menerima kekeliruan itu sebagai pelajaran berharga. Saya tidak akan melakukan pembelaan apapun, walau di satu sisi saya juga sadar betul bahwa motivasi saya saat membuat pernyataan itu bukan untuk menghina atau memojokkan siapapun. Sama sekali bukan.

Oleh karena itu, saya atas nama pribadi MOHON MAAF yang sedalam-dalamnya atas kekeliruan ini kepada siapapun pihak yang merasa tersinggung dengan pernyataan saya, khususnya para penyandang gejala autis, Yayasan Autisme Indonesia dan Organisasi Putera Kembara.

Saya akan berusaha mensosialisasikan dan mengingatkan hal ini kepada siapapun agar tidak terulang kembali hal yang sama karena bagaimanapun juga hal menggunakan kata ‘autis’ dikalangan pengguna BlackBerry (bahkan juga sudah mulai digunakan oleh kalangan pengguna non-BlackBerry) sudah menjadi semacam ‘trend’ yang tentunya sudah merebak kemana-mana dan sulit untuk dikontrol. Saya akan usahakan yang terbaik. 

Sekali lagi, ini sebuah pelajaran berharga buat saya pribadi dan tentunya buat anda semua yang membaca blog saya, untuk kemudian tidak mengulangi hal yang sama. 

Terima kasih atas e-mail-nya, Mbak Wulan.

Terima kasih semesta untuk perjalanan hari ini

Semoga semua mahluk berbahagia.

Yuk, Mareeee!

Saya sempat dibuat kesal oleh seseorang yang mengirimkan pesan singkat (SMS) lewat sebuah nomor tak dikenal yang isinya adalah sebuah ayat yang diambil dari sebuah kitab suci, yang saya tahu sekali bahwa ayat ini selalu dijadikan 'senjata pamungkas' bagi penganut agama yang bersangkutan untuk menghina agama lain, menganggap agama lain tidak benar, tidak suci dan tidak mampu untuk menyelamatkan. Ya, sebuah ayat yang mengatakan bahwa kalau kita tidak mempercayai atau tidak melalui nabi ini, juru selamat itu, tuhan ini, tuhan itu, kita tidak akan pernah selamat. 

Yeah, roiiight!

Entah mengapa, biasanya saya tahan dan santai-santai saja terhadap orang-orang kurang kerjaan yang sok suci ini. Kali itu, entah mengapa, saya tersinggung berat. Mungkin karena lagi lelah seharian. Dan saya rasa itu wajar. Namanya juga warga, kaaan? :) Dari banyak SMS yang selalunya saya diamkan, pasti ada satu atau dua SMS yang akhirnya menyinggung saya. Entah imbalan apa yang dia dapatkan dari orang tuanya, pemuka agamanya, dari nabinya, bahkan dari tuhannya kalau dia berhasil membawa saya kembali ke jalan yang ‘benar’ (menurutnya). Tak pernah berhenti dan lelah untuk 'menjaring' umat sebanyak-banyaknya, bahkan kalau perlu menyakiti orang lain, ‘menipu’ orang lain supaya berpindah keyakinan dan masuk ke agamanya. Kalau perlu sampai bunuh-bunuhan. Perang suci. Entah surga jenis apa yang mau dia kejar. Entah pahala yang bagaimana yang mau dia reguk. Dan entah di neraka mana dia ingin menceburkan saya.

Let me say this straightly and strictly to whoever you are that had sent me those unimportant SMSes: GET A LIFE, man!

 Kalau kamu merasa kamu yakin dengan ayat itu atau apapun yang kamu yakini tentang kebenaran (yang sayangnya kebenaranmu sendiri), berhentilah memaksa orang lain untuk mengikuti apapun yang kamu yakini. Because for me, it’s your choice. Not mine. And unfortunately (again, it's for you), I HAVE already my own choice. 

Saya bukan orang yang suka diberi perhatian oleh orang yang tidak tahu dan tidak mengenal siapa saya sebenarnya. Dan, mengirimi saya ayat-ayat supaya saya pindah agama bukanlah bentuk  perhatian. Sok tahu lebih tepatnya.
Anda salah orang. Anda salah korban. 

Semakin kamu mengajak-ngajak, memaksa-maksa orang lain untuk ikut serta, terlihat jelas bahwa kamu TIDAK YAKIN dengan apa yang kamu yakini. Kenapa kamu harus takut kalau saya tidak percaya dengan apa yang kamu yakini? Sebegitu pentingnyakah saya buat kamu sampai kamu harus membuang-buang waktu, membuang-buang pulsa sekaligus juga sesudahnya harus kena saya maki? Sebegitu takutnyakah kamu kehilangan saya, satu dari sekian miliar umat yang sama denganmu yang kemudian berpindah ‘aliran’ hanya karena lebih bisa menentukan sikapnya sendiri? Bukankah agama dan keyakinan itu sifatnya pribadi? Atau, kamu takut merasa sendirian kalau ternyata apa yang kamu yakini itu ternyata tidak sepenuhnya benar? So if let’s say: kalau ternyata surga atau neraka, atau apapun kebenaran-kebenaran yang kamu yakini itu ternyata (misalnya) tidak ada, dan akhirnya kamu merasa tertipu dan merasa tolol karena terjebak, terus kamu mau mengajak saya ikut serta dalam ketertipuan dan keterjebakan yang kamu alami, begitu? 

Giliran ketipu aja ngajak-ngajak. Coba kalo nggak ketipu, boro-boro inget. Dasar lo! Hehe! Peace, yo! :)

Tapi jujur, kadang saya kagum sama orang seperti kamu karena pasti minimal kamu pernah mati (atau mati suri) karena bisa dengan begitu percaya dirinya berbicara tentang sesuatu yang hanya bisa dialami dan dirasakan ketika kita sudah mati. Surga dan neraka, sekali lagi menurut yang kamu yakini, ada setelah kita mati, bukan?

Udahlaah. Masih banyak hal penting lain yang harus lo pikirin. Hari gini lo masih aja mikirin gimana caranya nyari umat. For human's sake, wake up!

Mendingan lo pikirin tentang PEMANASAN GLOBAL dan gimana caranya supaya kita bisa kembali lagi bersahabat ama bumi kita, rumah kita yang selama ini hanya selalu jadi tempat sampah kita. Iklim sekarang udah bener-bener ‘aneh’ karena pemanasan global. Dan itu nyata, jooo. Lebih nyata daripada surga atau neraka yang lo gembar-gemborin itu. Dan pemanasan global jelas-jelas bukan hanya disebabkan oleh emisi gas buang tapi lebih karena terlalu banyaknya peternakan di bumi ini (jumlah sapi di dunia sekarang lebih dari 1,3 miliar ekor dan itu baru sapi doang) karena kita-kita yang masih nggak sadar-sadar ngebunuhin binatang hanya karena nggak bisa nahan mata dan lidah. Satu sapi doang setiap harinya ngehasilin sekitar 12 liter gas Metana atau Metanol (Methane Gas) sebagai hasil dari proses ekskresinya yang terlepaskan ke udara bebas. Dan gas Metana atau Metanol ini panasnya 25 kali lebih panas dari Karbonmonoksida (CO) yang udah jelas-jelas bikin lapisan Ozone kita bocor. 

Mendingan lo pikirin gimana caranya untuk lo bisa jadi VEGETARIAN atau minimal ngurangin konsumsi daging seperti yang udah jadi peringatan super keras oleh IPCC (International Panel for Climate Change). 

Mendingan lo pikirin gimana caranya buat bikin taman untuk PENGHIJAUAN atau minimal nanem pohon aja deh nggak usah jauh-jauh. 

Mendingan lo pikirin gimana caranya buat HEMAT ENERGI. Salut gua buat mereka-mereka yang madamin listrik selama 60 menit dari pukul 20.30 sampai 21.30 pada momen Earth Hour di hari Sabtu, 28 Maret 2009 yang lalu, diseluruh jagad ini. Moga-moga kita bisa terus menjaga bumi kita, rumah kita, seperti ini ya, guys! Let's continue this holy journey! Love you all!

Mendingan lo pikirin gimana caranya supaya jangan sampai bencana sekelas Tragedi Situ Gintung terjadi lagi karena itu JELAS-JELAS disebabkan oleh kelalaian manusia, bukan alam. Nyalahin alam mulu aaah, basi. Nggak usah jauh-jauh mikirin konflik Israel-Palestina deeeh kalo konflik-konflik disekeliling kita (atau lebih parah: konflik internal lo sendiri, ketakutan lo sendiri) yang jelas-jelas ada didepan mata aja lo masih belon bisa handle. Kejauhan, jooo.

Mendingan lo pikirin gimana caranya kalo lo ngerokok, JANGAN ngerokok diruangan ber-AC (Air Conditioned Room). Pikirin orang laen yang nggak ngerokok jugalaaah. Lagian orang gemblung juga tau kalo diruangan ber-AC, apalagi ada ANAK-ANAK KECIL, udah pasti nggak boleh ngerokok. Tinggal masalah lo pake otak ama hati lo aja. Nggak perlu sampe Pemda yang harus turun tangan. Nggak perlu sampe tempel-tempel pengumuman dimana-mana. Nahan diri dikit nggak ada salahnya.

Atau yang paling gampang: JANGAN BUANG SAMPAH SEENAKNYA. Jangan cuman untuk sok-sokan, keren-kerenan bikin acara-acara panggung musik buat kampanye anti pemanasan global tapi tetep aja disekeliling panggung banyak sampah betebaran dimana-mana. Gua pernah manggung di acara kayak ginian dan langsung gua sindir panitianya dari atas panggung. Malu-maluin, nggak ada keren-kerennya. Sumpah. Pertanyaan bodoh gua: lo sebenernya ngerti nggak sih lo kampanye-kampanye itu buat apa? Huh? Bukan cuman rame-ramean dan seru-seruan aja, lho. Tanggung jawabnya gede.

Nah, kembali lagi, kalo lo udah bisa kayak gitu, udah bisa nahan diri untuk hal-hal yang seringkali lo anggap remeh dan sepele, atau latihan nggak makan daging dulu setaun aja, bolehlah lo ajak-ajak gua, pengaruh-pengaruhin gua. Ok, beybeeh? 

Yuk, mareeee!

Semoga semua mahluk berbahagia.

Terima kasih semesta untuk perjalanan hari ini.


Limit

Menikmati hidup tanpa pertanyaan adalah hadiah yang paling membahagiakan. Seperti menikmati terbitnya matahari di ufuk timur dan terbenamnya di ufuk barat. Seperti ketika orang-orang sudah tidak perlu lagi mempertanyakan banyak hal yang tidak penting. Yang tertinggal hanyalah kesadaran untuk saling menerima dan menghargai. Kesadaran untuk menerima bahwa apa yang diyakininya sebagai kebenaran adalah sesuatu yang hanya bisa dinikmatinya sendiri. Kesadaran bahwa kebenaran yang diyakininya bukan untuk dipaksakan kepada yang lain karena merasa (sekali lagi: merasa) ‘kebenaran’ yang lain adalah palsu. Ketika kebenaran dipaksakan, tidak ada lagi yang namanya pilihan termasuk kebebasan untuk memilih. Manusia yang tidak mampu memilih bukanlah manusia. Seperti kata pepatah kerbau yang selalu siap dicocok hidungnya

Ketika ada pihak yang mengkritik bahkan mencerca keputusan apapun yang saya ambil, saya hanya diam. Mengapa? Karena saya tahu, para pengkritik ini sebenarnya membutuhkan jawaban saya. Dengan membuat saya gerah, mereka berharap adanya reaksi. Harapan bahwa akan keluar jawaban dari mulut saya. Ketika saya diam, justru mereka semua yang merasa kegerahan. Kritikan semakin pedas, semakin meyakitkan dan (sayangnya) semakin ngawur. Ngawurnya kritikan mereka ini bahkan mampu mengaburkan kenyataan siapa yang seharusnya mendapatkan kritikan. Saya yang telah dianggap berbuat dosa oleh mereka yang juga telah tanpa sadar berbuat dosa dengan menyakiti hati saya. Asumsi-asumsi yang perlahan membunuh saya. Saya, yang seringkali mereka anggap sebagai setan, sedang dibombardir dengan kritikan menyakitkan oleh sekawanan ‘setan berpengalaman’ yang selalu melakukan dosa langganan: merasa suci. Inilah bentuk perhatian sesama setan. Sesama setan harus saling menasehati. Saya sadar saya adalah setan yang kurang pengalaman. Butuh wejangan dari setan yang ‘lebih berpengalaman’ untuk merasa suci.

Jujur, semua ini menjadi tidak ada bedanya dengan perang yang didalamnya sudah pasti terdapat unsur pembunuhan keji namun dilakukan atas nama ‘kebenaran’. Ya, ini adalah perang suci kata para pelakunya dengan penuh percaya diri. Suci karena dianggap membela kebenaran dan memerangi kebathilan. Yang membuat saya tertawa adalah: kalau perang saja sudah dianggap suci maka bayangkan yang tidak sucinya. Mengerikan. Tidak ada yang lebih primitif daripada menganggap perang, pembunuhan keji sebagai sesuatu yang suci.

Kebenaran, apalagi Cinta, tidak memerlukan pembelaan. Makanya saya diam. Dan sekali lagi inipun kebenaran yang saya anut. Jangan ambil pusing dengan kebenaran saya. Nikmati kebenaran anda sendiri karena saya juga tidak ambil pusing dengan kebenaran anda.

Oh, ya. Hampir lupa. Mau curhat sedikit.

Masih ingat kolom ShoutBox yang pernah bertengger dengan gagah beraninya disebelah kanan blog saya? Kolom yang awalnya sengaja saya biarkan terbuka bagi siapapun yang ingin berekspresi, berkomentar, berteriak, mengkritik? Sekarang sudah tidak ada lagi. Demikian juga kolom ShoutBox yang ada di blog istri saya. Ya, saya telah memutuskan untuk menutupnya. Bahkan saya dengan tegas memerintahkan istri saya untuk menutup kolom ShoutBox di blog-nya. 

Mohon maaf atas keputusan ini, saudara-saudara.

Awalnya saya merasa bahwa membiarkan orang untuk berekspresi adalah suatu keputusan yang bijak. Memang nggak ada salahnya sebenernya, kan? Tapi ya itu tadi: saya hanya manusia, saya ternyata punya limit. Dan saatnya memberikan sedikit kesempatan untuk diri saya menghormati limit itu. Karena kalau bukan saya yang menghormati limit itu lantas siapa lagi, saudara-saudara? Bukan begitu?

Kenapa saya tutup? Karena sudah terlalu banyak didominasi oleh komentar yang keterlaluan, kelewatan, kebablasan, keblinger. Sok benar, sok tahu, sok keren, sok suci. Saya sampai geleng-geleng kepala sendiri: kok ada orang-orang yang seperti ini kualitasnya, yang bertindak hanya berdasarkan naluri untuk menang, naluri bertahan atas kebenarannya sendiri, tanpa logika dan hati nurani. Merasa paling benar sehingga TIDAK PERLU menghormati orang lain, menghormati PROSES orang lain. Memuakkan sekali, saudara-saudara. Membuat saya ingin muntah. Mohon maaf. 

Tapi, ya sudahlah. Toh kolom di blog saya itu sudah saya tutup. Saya tidak perlu merasa mual lagi.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Terima kasih semesta atas perjalanan hari ini.

P.S. Saya mengutip komentar Dana, salah seorang yang memberikan komentarnya di posting saya sebelumnya. Lucu juga untuk direnungkan bersama. Dia tulis sebagai berikut: 
"Why God create differences when he has the power to make everything the same ?"
Iya, benar. Kenapa, yaaa? :)


Untukmu, Istriku

Istriku,

Rasanya begitu banyak hal-hal berat yang kita hadapi akhir-akhir ini. Begitu sering kesadaran, kesabaran dan cinta kita diuji. Begitu banyak pihak yang mengkritik dan menghujat perjalanan kita, memporak-porandakan kesetiaan kita. Berat sekali. Saya tahu. Tapi saya bangga, sayang. Bangga sekali. Karena ketika hal berat dan duka mendera, ketika kita yang sewajarnya sebagai manusia merasa takut dan pergi menjauhi rasa sakit, kita justru malah berpelukan erat dan tidak mau lepas. Tak ada kata menjauh, tak ada kata jarak. Ya, kita sama-sama menyadari bahwa rasa sakit karena duka hanya akan menjadi lebih perih jika kita justru berlari menjauh meninggalkan satu sama lain. Alih-alih mampu menyelesaikannya sendiri, kita malah gagal dan semakin terpuruk. Masalah tidak akan pernah selesai bahkan tetap ada dan semakin berat.

Yakin dan saling percaya, sayang. Ya, hanya itu. Tak aneh jika pintu untuk saling menerima dan memaafkan selalu terbuka untuk kita berdua. Karena cinta itu menerima dan memaafkan. Dan itulah cinta yang kita imani. Cinta yang tulus.

Saya tidak pernah berhenti mengagumimu, sayang. Tidak pernah berhenti untuk selalu membanggakan dirimu. Dimanapun, kapanpun, kepada siapapun. Kamu adalah sosok wanita, perempuan dan ibu yang selalu saya hormati. Karena memang pantas dihormati. Yang selalu menjadi tempat berpegang, berkeluh kesah, menangis, tertawa bagi saya dan kedua cahaya mata kita, Keenan dan Edga. 

Kekasih hatiku,

Saya bahagia, sayang. Bahagia sekali. Sumpah.
I've never been on this state of contentment before.

Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana gelombang rasa ini terus bertumbuh dan bergulung di dalam diri saya. Rasa bahagia yang belum pernah ada sebelumnya. Rasa bahagia yang membuat saya ingin terus-menerus belajar menjadi manusia yang lebih baik hari ke hari dan selalu mampu untuk kamu banggakan. Lelaki, suami, ayah yang selalu bisa menjadi panutanmu dan anak-anak kita.

Terima kasih atas rasa percayamu sejak saat pertama kali kita berpegangan tangan dalam perjalanan empat jam menuju airport tanggal 2 Februari 2008 yang lalu.
Terima kasih atas rasa hormat dan penghargaan yang selalu saya rasakan setiap kali kamu mencium lembut tangan saya saat akan memulai hari-harimu. 
Terima kasih atas kesabaran dan penerimaanmu yang rasa-rasanya tak pernah ada habisnya kepada raga tak sempurna ini.
Terima kasih saya ucapkan kepadamu, atas nama bulan dan bintang, atas nama matahari dan segenap isi tata surya serta segala entitas yang hadir di semesta ini. Hormat saya kepada jiwamu, ragamu, pikiranmu dan segenap kondisi yang membuatmu hadir di kehidupan ini.

Jangan pernah takut, cintaku. Yang kita jalani adalah sebuah perjalanan yang suci. Kita mengawali dan menjalaninya dengan penuh kesadaran dan kesabaran, karena cinta. Banyak orang tidak mampu melihat dan menerima perjalanan kita dan ini adalah urusan dan masalah mereka, bukan kita.  
Don't ever worry, sweetheart

Sekalipun neraka itu ada dan kamu ditakdirkan untuk kesana, kamu tidak akan sendirian, sayangku. Saya akan ada bersamamu, menggandeng tanganmu, memeluk erat tubuhmu, mencium keningmu. Kita dinginkan neraka dengan cinta dan kasih sayang. 

Sekali lagi, saya bahagia karena diberi kesempatan oleh semesta untuk mencintai kamu di masa kehidupan sekarang ini. Kesempatan untuk memberikan yang terbaik dan terindah untukmu, untuk anak-anak kita.

I love you, Melatiku.

- Suamimu -

Saya Batak

Saya orang Batak. Setidaknya terlahir sebagai orang Batak. Muka sayapun terlihat Batak. Marga saya Siahaan. Dan pernah menikah dengan seorang boru dari marga Simangunsong dan mempunyai seorang  anak yang (pastinya) juga Batak. Tetapi saya dilahirkan dan dibesarkan di Bandung, Tanah Parahyangan, oleh sebuah keluarga besar yang sangat ‘Jawa’. Ayah saya, Paian Siahaan, adalah orang Batak asli dan lahir di Pematang Siantar. Ibu saya, Veronica Indrasari, adalah peranakan Surakarta, Ambon, Belanda dan Cina yang lahir di Bandung dan sudah ‘ditahbiskan’ menjadi orang Batak dan memperoleh marga Manurung. Kakek saya, alm. R.M. Soebroto Hardjowahono, adalah orang Surakarta asli yang banyak menghabiskan waktu masa mudanya di negeri Belanda. Ayah beliau (saya menyebutnya ‘eyang resi’), alm. R.M. Soetarto Hardjowahono adalah salah satu pendiri Taman Sriwedari, Surakarta. Nenek saya, alm. Doortje Francine Suzanne Noya, adalah orang Ambon dengan sedikit darah Belanda dan Cina yang besar di Surabaya dan Belanda. Kakek saya pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat (Dispsiad) sekitar tahun 50-an sepulang dari negeri Belanda sehingga mengharuskan beliau menetap di Bandung karena saat itu kantor pusatnya di jalan Sangkuriang, Bandung.

Semenjak kecil saya lebih banyak berinteraksi dengan adat Sunda dan Jawa. Saya bahkan bersekolah di Santo Aloysius, Bandung sejak TK hingga lulus SMU yang mana mayoritas sahabat-sahabat saya adalah keturunan Cina dan semuanya fasih berbahasa Sunda. Akibatnya saya menjadi lebih fasih berbicara bahasa Sunda dan sedikit bahasa Jawa. Saya tidak bisa berbicara dan berbahasa Batak sedikitpun. Dan Papa bukan orang Batak yang
‘strict’ terhadap adat istiadat Batak. Dia tidak pernah memaksa saya ‘menjadi’ orang Batak karena Papa sangat realistis. ‘Darah Batak sudah mengalir dalam darahmu’, begitu katanya. Hasilnya saya selalu menjadi bahan celaan dan permainan saudara-saudara dari pihak Papa karena tidak bisa berbahasa Batak. Mereka menganggap saya Batak palsu, Batak KTP, Batak jadi-jadian. Saya selalu diejek ‘lembek’ seperti orang Jawa, ditertawakan dan dikomentari dengan bahasa Batak dan mereka selalu merasa saya tidak mengerti padahal saya juga tidak bodoh. Saya sempat suatu hari bercerita kepada Papa mengenai ini. Dan mengomentari masalah bahasa beliau berkata: ‘Lebih penting bahasa Inggris kau pelajari daripada bahasa Batak. Persentase untuk kau nanti pakai bahasa Inggris akan jauh lebih banyak kurasa. Sudahlah, tak akan mati kau tak bisa bahasa Batak.’ Saya tersenyum. Benar juga. Untuk menjawab celaan-celaan  dalam bahasa Batak yang ditujukan kepada saya akhirnya saya menjawabnya dengan bahasa Sunda. Nyambung atau nggak, peduli setan. Yang penting 'nyela' balik. Akhirnya celaan-celaan tersebut berhenti sendiri karena sama-sama bingung, sama-sama frustrasi.

Kembali lagi, walapun Papa tidak secara spesifik mengajarkan adat istiadat dan berbicara bahasa Batak, beliau mengajarkan saya untuk menjadi orang Batak yang baik dan terhormat. Dan hal yang selalu beliau ajarkan kepada saya adalah bahwa orang Batak itu berkarakter kuat, berani mengambil sikap tegas dan bertanggung jawab, apa adanya dan sangat menghormati orang tuanya. Saya selalu ingat itu.

Saya bangga menjadi orang Batak. Karena saya telah dibesarkan oleh orang Batak yang bertanggung jawab. Papa, walaupun beliau sudah berpisah dengan Mama sepuluh tahun lebih, adalah figur lelaki Batak yang selalu menjadi panutan saya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dia adalah lelaki yang sangat cerdas, kritis, pekerja keras, bertanggung jawab dan sangat peka terhadap lingkungannya. Dia sangat keras mendidik saya karena diapun dididik sangat keras (bahkan terlalu keras) oleh ayahnya, '
ompung doli' Leman Siahaan, terutama terhadap apapun yang ada hubungannya dengan rasa bersyukur. Dia mengajarkan saya untuk selalu bersyukur atas apapun yang kita miliki karena dalam hidup masih banyak orang yang tidak seberuntung saya. Tidak boleh menyia-nyiakan jerih payah orang lain. Tidak boleh menyisakan dan membuang makanan. Tidak boleh menghina dan melecehkan orang kecil. Jangan lupa untuk selalu membantu siapapun yang membutuhkan bantuan. Seburuk apapun orang tuamu tetaplah hormati. Mengkritik orang tua bukan hal yang tabu namun haruslah dengan cara yang sopan dan terpelajar karena bagaimanapun tetaplah orang tua. Sebagai penutup beliau berkata: ‘Aku keras sama kau. Kau pasti tidak terima aku keras sama kau. Tapi suatu saat nanti kau akan berterima kasih sama aku.’ Ya, beliau benar. Akurat.

Papa bukanlah orang Batak kebanyakan. Beliau berbeda, setidaknya menurut pengalaman saya dan pendapat saya. Sangat realistis.
Bukan orang Batak yang usil yang suka ikut campur masalah orang lain atas nama persaudaraan.
Bukan orang Batak yang merasa dirinya, adatnya, keyakinannya, agamanya adalah yang paling benar sehingga ‘seakan-akan’ memberikan kekuatan bagi dirinya untuk menghakimi, mengkhotbahi dan menzalimi orang lain terlebih saudaranya sendiri.
Bukan orang tua Batak yang dengan mudahnya mengancam anaknya dengan ancaman ‘anak durhaka’ ketika anaknya berpacaran ataupun menikah dengan orang yang bukan Batak ataupun yang berbeda keyakinan.
Bukan orang tua Batak yang suka menjodoh-jodohkan anaknya dengan sesama orang Batak.
Bukan orang tua Batak yang menjebak anaknya dalam perasaan bersalah hanya karena anaknya ternyata punya pendapat sendiri.
Bukan orang tua Batak yang suka membanding-bandingkan anaknya dengan anak keluarga Batak lainnya yang dianggap ‘lebih sukses’.
Bukan orang tua Batak yang dengan mudah menyebut ‘saudara’ ketika meminta bantuan untuk kepentingan anaknya sehingga seringkali membuat anaknya malu.
Bukan orang tua Batak yang sedikit-sedikit mengutip ayat kitab suci dan berkhotbah ketika dirinya merasa benar dan kebenarannya tidak dipatuhi.

Buat saya tidak ada kata durhaka. Malin Kundang hanyalah legenda. Dalam hemat saya orang tua tetap orang tua. Orang tua hanya manusia biasa yang juga harus diingatkan, ditegur. Namun cara mengingatkan dan menegurnya MUTLAK harus dengan sopan. Karena mereka, bagaimanapun juga adalah orang tua kita, darah daging kita, yang membesarkan kita. Itu saja.

Saya orang Batak bukan berarti dimana-mana saya harus ‘Batak’ ataupun kelihatan ‘Batak’. Saya menghormati tanah kelahiran saya, Tanah Parahyangan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya lahir disana, besar, makan dan minum, bersekolah, menikah dan mempunyai anak disana. Saya sudah menjadi bagian dari masyarakatnya. Saya tidak ingin ‘menguasai’ hanya karena asumsi bahwa orang Batak harus selalu eksis dimanapun, kapanpun, dengan siapapun dan jadinya malah menginjak-nginjak adat istiadat orang lain, menganggap orang lain ‘lembek’, menganggap orang lain 'culas' dan sebagainya.
Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Saya menunjukkan bahwa saya orang Batak bukan hanya dengan mencantumkan marga. Bukan hanya dengan menghafal siapa saja anggota keluarga dan kerabat saya dan bagaimana memanggil mereka. Bukan hanya dengan mengingat ketujuh klan Siahaan dan generasi keberapa saya saat ini. Saya menunjukkan itu dengan sikap dan karakter sebagai orang Batak seperti yang Papa sudah ajarkan. Orang Batak juga manusia. HANYA manusia. Dan karakter manusia tercermin dari perbuatannya bukan dari siapa dan darimana dia  berasal. Buat saya itu cukup. Lebih dari cukup.

Sekali lagi saya bangga sebagai orang Batak. Terserah orang mau bilang apa.

Semoga semua mahluk berbahagia.

Terima kasih semesta untuk perjalanan hari ini.

Sabbe Sankhara Anicca saya ucapkan dari hati yang terdalam kepada sahabat saya, abang saya,  Robin 'NOXA' Hutagaol, yang telah meninggal dunia karena kecelakaan lalu-lintas dan sempat mengalami koma selama beberapa hari. Pertemuan yang singkat namun begitu berarti, bang. Terima kasih atas kesempatan mengenali abang lebih dekat dan memaknai persahabatan diantara kita walaupun singkat. Have a peaceful journey, my brother!